BAB II
Kalangan
pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan,
seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916. Kemudian
tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri
(Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan
Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi
kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan
memiliki cabang di beberapa kota.
Sementara itu, keterbelakangan, baik
secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan
maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat
kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar
terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai
jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak
menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak
menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini
banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat
sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di
bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S.
Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela
keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban
tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan
pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925,
akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam
Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan
mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih
untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian
warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri
yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang
terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di
dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah
bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah
peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan
kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta
peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai
organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk
membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai
kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH.
Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga
merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian
diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU
dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Ada dua pengertian yang ingin
penulis kemukakan. Pengertian pertama, adalah menurut bahasa (lughawi).
Kata Nahdlatul Ulama berasal dari susunan mudhaf wa mudhaf alaihi, yang
diambil dari akar kata nahadla dan ‘alima. Akar kata partama
mempunyai arti berdiri, bangkit. Kemudian akar kata tersebut diturunkan
menjadi an-nahdlatu sehingga menjadi kebangkitan, pergerakan.
Adapun arti kata dasar yang ke dua adalah ilmu, pengetahuan. Kemudian
menjadi jamak taktsir sehingga menjadi ulama’ yang berarti orang-orang
yang mempunyai ilmu dan berpengetahuan luas (al-Munawir, 1984: 1037,
1468-9).
Adapun pengertian dari istilah yang
biasa dipahami, Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh
para ulama untuk membangkitkan kesadaran umat Islam dalam upaya menjaga dan
memelihara syaria’ah Islam yang berhaluan paham ahlu sunnah wal jamaah dan
menganut salah satu madzhab yang empat di tengah-tengah kehidupan di dalam
wadah Negara kesatuan Republik Indonesia.
Memperhatikan pengertian yang
terkandung dalam istilah di atas, sangat logis jika kemudian para ulama itu
menamakan organiasasi yang didirikannya dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Nama
ini sarat dengan makna filosofis dan sangat mengakar di tengah-tengah masyarat
muslim Indonesia tradisionalis dari dulu sampai saat ini. Ada femeo yang
berkembang bahwa umat Islam tidak dapat dikatakan beragama yang baik jika
mereka tidak dikatakan orang NU, walaupun dalam aplikasi keseharian mereka
kadang jauh dari ajaran NU.
Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat
penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab
Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai
Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme
Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut
Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai
Cholil sebagai penentu berdirinya. Tentu selain dari ketiga tokoh ulama
tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting.
Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah
meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab
oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai
Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat
lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan
peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam
proses berdirinya NU.
·
Keresahan
Kiai Hasyim
Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim.
Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan
dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah
wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan
yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini,
Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah,
banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat
dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya. Pada awalnya, ide pembentukan
jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai
Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti
“potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para
kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam
terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta
forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab
merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh
ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur. Setelah pertemuan dengan
Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya
“dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang
waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda
batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut
dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian
memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal
sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya
sendiri.
·
Tongkat
“Musa”
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan
berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,”
jawab As’ad sambil menerima tongkat itu. “Setelah membeerikan tongkat,
bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad
seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23. Yang Arinya: ”Apakah itu yang di
tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku
bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku
ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia,
wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor
ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan
takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah
tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat,
sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian
dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.” Sebagai bekal perjalanan ke
Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keeping uang logam kepada As’ad yang cukup
untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang
untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim
dipegangnya erat-erat. Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan
kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di
sakunya sebagai kenang-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat
berharga untuk dibelanjakan. Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman
Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad
merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai
Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh
Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya
menyerahkan tongkat. Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan.
Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah
selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan
lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad.
Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23. Setelah mendengar ayat
tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat
bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai
lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan
jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai
Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan
jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama
dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji
kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi
Noerhasan. Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai
Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri
untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju
kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung
menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama
penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie
tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk
berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya
berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau
butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi. Proses dari sejak
Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan
jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu
sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang
diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai
Cholil, masih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak
kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna
bagi ummat Islam. Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai
Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya
diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil
menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya
Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian
tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang
diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih
memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan
bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak
terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya. Qahhar dan
Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti
Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun)
dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang
mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh
siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan
untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak
sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim
untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil
meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum
berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang
ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU). Setelah para
ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai
Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai
Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat
lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU
yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke
Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai
Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai
Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU.
Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai
supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan
gambarnya. Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan
saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun
masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie juga
meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi
tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,”
papar Kiai Nawawie.
·
Bapak
Spiritual
Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses
pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran
lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu
peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar,
Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal
Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat,
konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan
karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat
dalam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih.
Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang
berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para
santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak
boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga
menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik). Kecenderungan
yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh
lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang
pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis
terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid
kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama
Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah.
Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam
transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari. Karena itu, Syaikh
Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai
kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar
Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran
kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia
senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa)
kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap
derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim. Sebagai ulama yang otoritatif
dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap
perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia
menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di
tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi
Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam
berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat. Selain kritis dalam
memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum
Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas
dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai
Hasyim memberikan pernyataan tegas: “Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali
tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah
pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.” Lebih tegas beliau
menyatakan: “Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah
wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia
mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat
kedustaan atas Allah Ta’ala.” Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai
Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga
bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar,
2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi
yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal
dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian
kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang
perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari. Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat
kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU?
Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk
memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa
berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan
tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an,
sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas
empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu
Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian
dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui
tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana
yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang
tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Gagasan kembali kekhittah pada
tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran
ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang
fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan
tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial
dalam NU.
a)
Daftar
pimpinan Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (pimpinan tertinggi) Syuriyah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
NO
|
NAMA
|
AWAL JABATAN
|
AKHIR JABATAN
|
1
|
KH Mohammad Hasyim Asy'arie
|
1926
|
1947
|
2
|
KH Abdul Wahab Chasbullah
|
1947
|
1971
|
3
|
KH Bisri Syansuri
|
1972
|
1980
|
4
|
KH Muhammad Ali Maksum
|
1980
|
1984
|
5
|
KH Achmad Muhammad Hasan Siddiq
|
1984
|
1991
|
6
|
KH Ali Yafie (pjs)
|
1991
|
1992
|
7
|
KH Mohammad Ilyas Ruhiat
|
1992
|
1999
|
8
|
KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz
|
1999
|
|
b)
Struktur
1. Pengurus Besar (tingkat Pusat).
2. Pengurus
Wilayah (tingkat Propinsi), terdapat 33 Wilayah.
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk
kepengurusan di luar negeri, terdapat 439 Cabang dan 15 Cabang Istimewa.
4. Pengurus
Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan), terdapat 5.450 Majelis Wakil Cabang.
5.
Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan), terdapat 47.125 Ranting. Untuk
Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri
dari:
1. Mustasyar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk
Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
1.
Syuriyah
(Pimpinan tertinggi)
2.
Tanfidziyah
(Pelaksana harian)
3.
Lembaga
Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu.
Lembaga ini meliputi:
1.
Lembaga
Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
2.
Lembaga
Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU)
3.
Lembaga
Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama ( LPKNU )
4.
Lembaga Perekonomian
Nahdlatul Ulama (LPNU)
5.
Lembaga
Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU)
6.
Rabithah
Ma'ahid Islamiyah (RMI)
7.
Lembaga
Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)
8.
Lembaga
Takmir Masjid (LTM)
9.
Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU
10. Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
11. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH)
12. Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU) 5. Lajnah Merupakan
pelaksana program Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan penanganan khusus.
Lajnah ini meliputi:
1. Lajnah Falakiyah (LF-NU)
2. Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN-NU)
3. Lajnah Auqaf (LA-NU)
4. Lajnah Zakat, Infaq,
5. dan Shadaqah (Lazis NU)
6. Badan Otonom Merupakan pelaksana kebijakan NU yang
berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Badan Otonom ini meliputi:
1. Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah
2. Muslimat Nahdlatul Ulama
3. Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
4. Fatayat Nahdlatul Ulama 5. Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama (IPNU)
6. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
7. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
8. Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa)
9. Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH)
c)
Tujuan
Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut
paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Usaha Organisasi
- Di
bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa
persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
- Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan
yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang
bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
- Di bidang sosial-budaya, mengusahakan
kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman
dan kemanusiaan.
- Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan
kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan
berkembangnya ekonomi rakyat.
- Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi
masyarakat luas
Kebangkitan Islam telah
menjadi wacana bersama sejak kita memasuki abad ke-15 H. Sebelumnya, umat Islam
memang mengalami stagnasi yang cukup lama terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Belakangan ini, umat Islam di berbagai kawasan sudah mulai melakukan
identifikasi terhadap potensi yang dimilikikinya.Berbagai inovasi, kreatifitas,
spekulasi dan eksperimen ilmiah mulai dilakukan. Kendati mengalami banyak
kendala, peradaban muslim sudah mulai diukir sebagai sumbangsihnya pada dunia.
Di Indonesia, dinamika umat Islam bergerak secara positif ke depan dalam
membangun bangsa dan negara. Krisis multi-dimensi (tahun 1997-an) dapat
dilewati dengan bijak, walaupun tetap harus menanggung resiko
perubahan-perubahan akibat transisi politik.Demikian juga, dinamika yang
terjadi karena pengaruh masyarakat internasional dapat pula disikapi oleh umat
Islam Indonesia secara terbuka, rasional dan dewasa.
Di
tengah-tengah dinamika dan perubahan tersebut masyarakat mulai merasakan
perlunya nilai-nilai luhur, format etika serta sistem kehidupan kemasyarakatan
yang dapat dijadikan pegangan –bukan saja untuk perikehidupan berbangsa dan
bernegara, tetapi untuk totalitas kehidupannya. Jadi, dibutuhkan semacam guideline
yang bisa menuntun individu ke satu ruang kehidupan yang mensejahterakan.
Dalam konteks demikianlah kita membutuhkan sebuah sistem pendidikan yang dapat
dijadikan pilar utama untuk membangun peradaban bangsa sepanjang masa. Hal ini
penting agar langkah kita tidak tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain di dunia.
Kita
sepakat untuk memberdayakan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara utuh
dan keseluruhan. Kita sepakat pula cara itu dilakukan melalui pendidikan. Namun
hingga saat ini pendidikan belum mampu menampakkan format kelembagaan dan pola
penyelenggaraan yang berkualitas. Oleh karena itu, kita perlu memberikan
perhatian khusus terhadap sektor pendidikan; bahkan kita membutuhkan keberanian
untuk meninggalkan sistem yang tidak mampu memberikan pemecahan terhadap segala
problem kependidikan selama ini.
Dalam
rangka berikhtiar mencari sistem penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, kita
perlu mempertimbangkan kecenderungan perubahan yang terjadi sekarang maupun masa mendatang. Menurut
para ahli ilmu sosial, perubahan itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut.Pertama,
terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat loncatan revolusi di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi.Masyarakat teknologis ditandai dengan pembakuan
kerja dan perubahan nilai, yaitu makin dominannya pertimbangan efisiensi dan produktivitas.
Kedua, perilaku yang fungsional menjadikan hubungan
sosial hanya dipandang dari sudut kegunaan dan kepentingan semata. Keberadaan
seseorang sangat ditentukan sejauh mana ia memberi manfaat bagi dirinya dan
orang lain. Karena itu, dalam masyarakat yang fungsional terjadi pergeseran
pola hubungan sosial dari emosional pada rasional.
Ketiga, penguasaan informasi sangat menentukan eksistensi
seseorang dalam pergaulan sosialnya.
Keempat, kehidupan masyarakat yang makin sistematik dan
terbuka di mana masyarakat berjalan teratur dalam sistem yang terbuka (open
system).
Dengan
adanya perubahan-perubahan tersebut Nahdlatul Ulama (NU) mencoba
memberikan respons-antisipatif dengan cara melakukan telaah ulang terhadap pola
penyelenggaraan pendidikan yang dipakai selama ini. Pendidikan yang
dikembangkan oleh NU akan seoptimal mungkin menyesuaikan diri dengan
perkembangan sosial sehingga masyarakat tetap menaruh minat, atensi dan
antusiasmenya. Penyikapan ini terkait dengan pemahaman masyarakat bahwa pendidikan
merupakan energi untuk memperbaiki diri di masa depan. Oleh karena itu,
pendidikan NU diupayakan dapat mencakup kecenderungan teknologis,
fungsional-individual, informatif dan terbuka.
A. Pendidikan sebagai Mainstream
Sejarah pergerakan NU sebetulnya
adalah sejarah pendidikan nusantara.Pohon organisasi NU sangat rimbun oleh
lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren, majelis ta’lim, diniyah dan
madrasah/sekolah serta perguruan tinggi; serta disokong sangat kuat oleh
banyaknya akar-akar nahdliyyin dalam masyarakat yang menjadi stakeholder-nya.Sebetulnya,
dari pada jam’iyyah (organisasi)-nya, jama’ah NU telah lebih dulu
lahir.Sementara itu, jama’ah nahdhiyah mempunyai tradisi khidmat al-ummat
melalui berbagai jalur. Oleh karena itu, organisasi NU merupakan fase formalisasi atau
institusionalisasi dari khazanah cultural muslim nusantara yang dibangun oleh
para tokoh agama yang berbasis pemikiran ‘Ahlussunnah wa al-Jama’ah’.
Pada awalnya,
masyarakat Ahlussunnah tersebut membuat komunitas-komunitas perjuangannya
dengan beberapa topik atau spesifikasi gerakan.Nahdlatul Wathan (1916)
merupakan refleksi dari kesadaran politik, Nahdlatul Tujjar (1918)
sebagai awal dari kesadaran ekonomi dan Tashwirul Afkar (1924) sebagai
refleksi kuatnya budaya pikir. Akumulasinya adalah berdirinya organisasi “Nahdlatul Ulama” pada tahun
1926.Kendati terdapat argumen historis yang mengatakan, bahwa lahirnya NU
merupakan reaksi terhadap arus modernitas di dunia Islam (Timur Tengah) ketika
itu.
Dalam rel pendidikan, NU merupakan salah satu lokomotif pembaharuan
pendidikan. Setahun setelah berdirinya, persisnya pada Muktamar Nahdlatul Ulama
II (1927), muktamirin mengagendakan penggalangan dana secara nasional untuk
mendirikan dan membangun madrasah dan pesantren. Pada Muktamar Nahdlatul Ulama
III (1928), elite NU memprakarsai gerakan peduli pendidikan dengan mengajak
para muktamirin untuk mengunjungi pesantren-pesantren besar. Ketika itu,
kunjungan dilakukan ke Tambak Beras yang dipimpin KH. A. Wahab Hasbullah, ke
Denanyar dipimpin oleh KH. Bisri Syansuri dan ke Nganjuk dipimpin oleh K.
Pathudin Seror Putih.
Pada Muktamar Nahdlatul
Ulama IV (1929), panitia muktamar mengekspos kecendrungan naiknya kuantitas dan
kualitas pendidikan (data angka/statistik tidak terlacak) yang mendorong para
muktamirin untuk menyepakati dibentuknya wadah khusus untuk menangani bidang
pendidikan yang bernama Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) Bidang
Pendidikan yang ketuanya, yaitu Ustazd Abdullah Ubaid, disebut presiden.
Perkembangan selanjutnya adalah terbentuknya Lembaga Pendidikan Ma’arif
Nahdlatul Ulama pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-20 (1959) di Jakarta.
Dari arena muktamar ke
muktamar, hingga Muktamar Nahdlatul Ulama XXX (1999) di Kediri-Lirboyo Jawa
Timur, NU tetap menjadikan sektor pendidikan sebagai mainstream. Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama pada
25-28 Juli 2002 di Pondok Gede Jakarta menghasilkan “Taushiyah Pondok Gede
tahun 2002” yang mencoba mempertegas kembali posisi bidang pendidikan untuk
menjadi prioritas program NU. Untuk menafsirkan lebih rinci, tak lama setelah
itu --tepatnya pada 22-25 Agustus 2002 di kawasan Puncak Batu, Malang, Jawa
Timur-- diselenggarakan Rapat Kerja LP Ma’arif NU dan Musyawarah Kerja
Pergururuan Tinggi NU. Di forum tersebut, NU kembali mematangkan format,
strategi dan guidelines pengembangan pendidikan di lingkungan NU.
Dalam
rumusan hasil Muktamar Nahdlatul Ulama XXX (1999) disebutkan bahwa pendidikan
bagi NU adalah upaya mengembangkan individu manusia untuk menjadi manusia yang
aktual yang mampu mengemban fungsi khalifah di bumi. Sistem pendidikan yang
menekankan transfer pengetahuan maupun teknologi hanya merendahkan derajat
manusia, karena anak didik dipandang sebagai tabungan pengetahuan dan
teknologi, yang kelak nanti dapat digunakan untuk hidupnya, sedang fungsi guru
hanya sebagai alat pemindah pengetahuan dengan target-target yang telah
ditentukan pihak lain, bukan sebagai pendidik anak.
Dalam
praktik pendidikan, NU menempatkan anak didik sebagai subjek pencari
pengetahuan dan pembentuk dirinya, melalui pengembangan seluruh
intelegensianya, sedang guru mempunyai tanggugjawab lebih bersifat sebagai
pendidik bukan hanya sebagai pengajar mata pelajaran, yang bertanggung jawab
berkembangnya kepribadian anak. Untuk itu campur tangan pemerintah yang terlalu
dalam terhadap proses pelaksanaan belajar anak harus dikurangi atau
dihilangkan, dan menempatkan guru sebagai pendidik yang punya otoritas profesi.
Pendidikan adalah upaya memfasilitasi anak untuk menjadi dirinya sendiri yang
akan hidup dan membangun masyarakatnya kelak dalam kehidupan masyarakat sipil
yang beragam. Oleh karena itu sistem pendidikan nasional harus memperkuat
pendidikan demokrasi, memberi pengakuan pada multikulturalisme, menghargai
pendidikan lokal, dan menghapus dikotomi antara pendidikan agama dan umum.
B. Mengaktualisasikan Potensi Pendidikan
Hingga kini, potensi pendidikan NU masih berupa “potensi aktif” yang perlu
segera diaktualisasikan. Di berbagai forum, NU dicitrakan sebagai ormas yang
titik tekannya lebih pada politik ketimbang pada citra “fitrahnya” sendiri
sebagi ormas keagamaan (jam’iyyah dîniyyah) yang dilahirkan untuk memberdayakan
masyarakat melalui gerakan dakwah dan pendidikan (al-da’wah wa al-tarbiyah).
Berpolitik memang lebih menarik, akan tetapi kedewasaan berpolitik akan sulit
tercapai jika kualitas pendidikan masyarakatnya rendah.
Oleh karena itu, NU membutuhkan disain pengembangan pendidikan yang dapat
menjawab realitas dan tantangan kehidupan dalam multi aspeknya. Masa depan NU
bisa tampak dari kualitas pendidikan hari ini. Kelemahan sektor pendidikan
dapat menyebabkan erosi eksistensial NU –tidak hanya secara kultural, tetapi
juga secara politik. Hal ini hanya bisa diatasi dengan mengaktifkan
kembali proses penafsiran, transformasi dan pembudayaan nilai-nilai
ke-NU-an melalui jalur pendidikan (formal, informal dan non-fromal).
Berkaitan dengan itu,
perluasan network dengan sesama lembaga pendidikan --di lingkungan NU sendiri
dan penyelenggara pendidikan lainnya-- juga dengan pemerintah, pihak swasta dan
lembaga-lembaga kependidikan internasional merupakan kebutuhan pokok.Hal ini
sebagai langkah untuk merespons kebutuhan masyarakat terhadap SDM yang
berkualitas dalam era global.
Ketua PBNU KH. Hasyim
Muzadi menyarankan agar mengkondusifkan lingkungan dan iklim organisasi, serta
membuat sistem komunikasi yang baik di lingkungan NU saat ini juga. Pengembangan
SDM tidak bisa berjalan efektif tanpa dibarengi oleh pengembangan sistem
komunikasi.Oleh karena itu, saatnya sekarang dipikirkan bagaimana melakukan
koordinasi terhadap seluruh satuan pendidikan di lingkungan NU dari Taman
Kanak-Kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan perguruan tinggi.
Melalui koordinasi tersebut, LP Ma’arif NU dan lembaga-lembaga lainnya
akan mampu memetakan potensi yang ada pada masyarakat pelajar NU, dan
mengembangkannya ke dalam bentuk yang lebih baik lagi.
Bagi
jama’ah dan jam’iyyah NU, sektor pendidikan telah diyakini sebagai jalan utama
ke arah terciptanya sumber daya manusia yang handal. Melalui pendidikan, NU
dapat berpartisipasi dalam mengembangkan potensi manusia secara optimal agar
memiliki kekuatan spiritual-keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan.
KH.
Idham Chalid menyatakan bahwa pendidikan di lingkungan warga nahdhiyyin
merupakan usaha untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan
rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreatifitas dan
tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan tenggang rasa, menerapkan
budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan sesama umat manusia. Dengan
kata lain, pendidikan NU difokuskan untuk menciptakan manusia Indonesia yang
sanggup beramal sholih dan bertakwa, serta mau memberikan dharma bhaktinya
kepada masyarakat. (KH. Idham Chalid, Muker PTNU di Malang, 1976)
C. Masalah Pendidikan NU
KH.Hasyim Latief mengatakan bahwa mengurus lembaga pendidikan (swasta) adalah
pekerjaan yang amat sulit dan merupakan beban yang sangat berat.Para pengelola
lembaga pendidikan hendaknya memberikan dedikasi yang tinggi sehingga sanggup
bergulat dengan berbagai kesulitan dalam mempertahankan dan mengembangkannya.
Semua itu merupakan pengabdian dalam ikut serta mengisi cita-cita proklamasi 17
Agustus 1945 melalui pembangunan suatu bidang yang sangat penting, yakni
mempersiapkan kader-kader bangsa yang ahli. (KH Hasyim Latief, Muker PTNU di Malang, 1976)
Pernyataan di atas menggambarkan bahwa kendala dalam pengelolaan
pendidikan sangat berat. Tentu saja, karena hampir semua bangsa
menghadapi masalah dalam penyiapan SDM, termasuk Indonesia. Pendidikan
Indonesia memang tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara Asia
Tenggara lainnya.Hal itu disebabkan karena bangsa kita belum memprioritaskan
sektor pendidikan.Akibatnya, kita hanya punya sedikit anak bangsa yang
berpendidikan tinggi dan bermoral luhur.Barangkali karena faktor inilah
terjadinya krisis multidimensi itu.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan di Indonesia, lembaga-lembaga
pendidikan yang berada di bawah payung NU-pun menghadapi masalah. Mulai dari
padatnya kurikulum, lambatnya pembaruan kurikulum tersebut, lemahnya input
madrasah, lemahnya tenaga pengajar, kurangnya sarana-prasarana pendidikan,
kecilnya dana pengelolaan, hingga tak terkontrolnya proses evaluasi peserta
didik. Selain itu, kurangnya pembinaan (akreditasi dan supervisi) yang
dilakukan pemerintah sehingga madrasah jauh tertinggal dari sekolah umum.
Menurut Zamakhsyari Dhofier (1994), ketertinggalan pendidikan NU bahkan
diawali dari makin hilangnya peranan pesantren sekitar tahun 1950-an yang
sebelumnya cukup strategis sebagai basis pengembangan pendidikan Islam yang
permanen dan memiliki karakter. Faktor lainnya adalah terbukanya lapangan
pekerjaan bagi mereka yang mendapat latihan di sekolah-sekolah umum, dan
sebaliknya makin sempitnya lapangan kerja bagi lulusan pesantren/madrasah. Hal
ini mengakibatkan penurunan minat kaum muda pada pendidikan pesantren dan
madrasah yang ada di dalamnya.
Ditambah lagi,
kebijakan pemerintah untuk membangun sekolah-sekolah umum dari tingkat
dasar hingga perguruan tinggi sebanyak mungkin. Karena itulah, antara
tahun 1950-1960 banyak pesantren kecil yang menghilang. Adapun pesantren besar
yang mampu bertahan adalah karena menyajikan mata pelajaran umum atau
mengembangkan sekolah-sekolah bercorak modern.
Dalam konteks pendidikan NU, sistem pendidikan pesantren yang telah lama
melembaga bagi masyarakat Islam nusantara tidak bisa dilupakan.Keberadaan NU
hingga saat ini selalu ditopang oleh pesantren.Dari pesantrenlah basis kekuatan
NU dibangun dengan banyak melahirkan para ulama dan kyai, yang kemudian
membentuk jami’yyah NU dan berjuang di dalamnya.
Secara kuantitatif, pondok
pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat. Berdasarkan
laporan pemerintah kolonial Belanda pada 1831 di Jawa terdapat tidak kurang
dari 1.853 buah dengan jumlah santri tidak kurang 16.500 orang. Kemudian suatu survey
yang diselenggarakan kantor Shumubu (Kantor Urusan Agama) pada masa Jepang pada
1942 jumlah pesantren bertambah menjadi 1.871 buah, jumlah tersebut belum
dijumlah dengan pesantren di luar jawa dan pesantren-pesantren kecil. Pada masa
kemerdekaan jumlah pesantren terus bertambah, berdasarkan laporan Departemen
Agama RI pada 2001 jumlah pesantren di Indonesia mencapai 12.817 buah.
Perkembangan pesantren terhambat ketika bangsa Eropa datang ke Indonesia untuk
menjajah.Hal ini terjadi karena pesantren bersikap non-kooperatif bahkan
mengadakan konfrontasi terhadap penjajah.Akibat dari sikap tersebut, maka
pemerintah kolonial ketika itu mengadakan kontrol dan pengawasan yang ketat
terhadap pesantren.Setelah Indonesia merdeka, pesantren tunbuh dan berkembang
dengan pesat. Ekspansi pesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren
yang semula hanya rural based institution kemudian berkembang menjadi
pendidikan urban –karena pesantren tumbuh juga di kota-kota besar.
Banyak
yang memahami bahwa dunia pesantren adalah dimensi yang sulit berubah, yang
selama ini dianggap simbol kejumudan (kebekuan) dan kemandegan (stagnasi).Pada
kenyataannya, pesantren memiliki dinamika perkembangan yang dinamis, bisa
berubah, mempunyai dasar-dasar yang kuat untuk ikut mengarahkan dan
menggerakkan perubahan yang diinginkan, mampu beradaptasi dengan perkembangan
zaman.
Dalam
rangka meminimalisasi problem kependidikan pesantren, dibutuhkan keberanian
diri untuk melakukan rekonstruksi dalam arti positif yakni membangun pesantren
berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya.Oleh karena itu, rekonstruksi
sistem pendidikan pesantren bukan berarti merombak seluruh sistem yang ada yang
berakibat hilangnya jati diri pesatren. Rekonstruksi tersebut tidak harus
mengubah orientasi atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren sebagai
lembaga “tafaqquh fi al-dîn” dalam pengertian luas; juga tidak perlu
mengorbankan nilai-nilai seperti keikhlasan, kesedarhanaan, ukhuwah islamiyah,
kemandirian dan optimisme.
Problem
pendidikan NU ini sampai sekarang memang masih membelit, baik pada lembaga
pendidikan madrasah maupun pesantren.Pasti saja meminta penyelesaian
secepatnya, terutama setelah pemerintah melakukan reformasi kebijakan bidang
pendidikan yang bermuara pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Oleh
karena itu, NU perlu menjalin kerja sama dengan pemerintah --Departemen
Pendidikan nasional dan Departemen agama RI, dan lembaga keswadayaan bidang
pendidikan dalam dan luar negeri-- untuk bersama-sama mencari solusi
terhadap masalah yang dihadapi.
Berkenaan dengan itu, NU mengambil langkah-langkah penting sebagai berikut:
1)
Pemberdayaan Kepengurusan di Daerah
Pemberdayaan
kepengurusan di daerah, dalam hal ini Pengurus Wilayah LP Ma’arif NU dan
Pengurus Cabang LP Ma’arif NU, merupakan langkah utama yang harus ditempuh,
karena melalui mereka inilah aspirasi warga nahdiyyin dalam bidang pendidikan
bisa diperhatikan. Pemberdayaan tersebut dapat ditempuh melalui:
a. Penerapan
pelatihan sambil bekerja (on-the-job training). On-the-job training, terutama
yang di-support dengan pengetahuan, adalah pendekatan yang paling efektif bagi
pembangunan kapasitas dan pengembangan sumberdaya manusia.
b. Peningkatan
pemahaman tentang paradigma baru pendekatan baru kepemimpinan (manajemen yang
efisien).
2) Perencanaan
pendidikan secara bottom-up yang strategis dan antisipatoris.
Yang dimaksud dengan perencanaan pendidikan bottom-up yang strategis dan
antisipatoris adalah perencanaan pendidikan yang disesuaikan dengan local needs
(kebutuhan setempat) dan future needs (kebutuhan mendatang). Perencanaan ini
didasarkan atas kondisi real yang terjadi. Perencanaan seperti ini tentunya
tidak mudah dan tidak akan terjadi keseragaman dalam pembuatan dan
penerapannya.
3) Pelibatan warga
nahdliyyin dalam segala hal, terutama dalam pengambilan keputusan atau
kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan.
D. Pendidikan NU dalam Konteks Pendidikan
Nasional
Pengembangan pendidikan keagamaan semula dilakukan oleh masyarakat sendiri
melalui berbagai perkumpulan atau organisasi. Organisasi masyarakat seperti
Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926) dan Jam’iyatul Wasliyyah (1930),
telah mencoba mengaplikasikan sistem pendidikan keagamaan dalam multibentuk:
pesantren, diniyyah dan madrasah, baik pendekatan pembelajaran individual,
klasikal maupun sistem terbuka; baik paruh hari maupun fullday.
Namun demikian,
kelembagaan madrasah yang melayani pendidikan masyarakat secara massif yang
pada umumnya diselenggarakan secara swakelola memiliki kelamahan yang cukup
serius. Kelemahan-kelemahan itu hanya bisa diselesaikan secara bersama antara
pemerintah, madrasah/sekolah, dan masyarakat sendiri.
Dalam khazanah nasional, madrasah merupakan fenomena budaya yang berusia
lebih dari satu abad. Bahkan bukan suatu hal yang berlebihan, madrasah telah
menjadi salah satu wujud entitas budaya Indonesia yang dengan sendirinya
menjalani proses sosialisasi yang relatif intensif. Indikasinya adalah
kenyataan bahwa wujud entitas budaya ini telah diakui dan diterima
kehadirannya. Secara berangsur namun pasti, ia telah memasuki arus utama
pembangunan bangsa menjelang akhir abad ke-20 ini.
Zaman Belanda, pendidikan Islam berada dalam fase awal, yaitu melakukan
eksperimentasi materi dan metodologi pembelajarannya.Lembaga pesantren
merupakan cikal-bakal format pendidikan Islam itu, yang kemudian melakukan
improvisasi melalui adaptasi dengan sistem sekolah ala Belanda itu sendiri.Ada
yang mengambil utuh kurikulum Belanda, lalu menambahkan jam pelajaran agama;
tetapi ada yang hanya memakai sistem sekolah dan metodologi pembelajarannya
saja, sementara materinya tetap pelajaran agama.
Pada zaman Jepang, urusan pendidikan agama Islam ditangani secara
khusus.Pemerintahan Jepang membuat relasi-positif dengan kiai dan ustadz, yang
kemudian membuat Kantor Urusan Agama (Shumubu). Setelah tahun 1945
–tepatnya tanggal 3 Januari 1946-- kantor ini menjadi kementrian agama. Dalam
tahun-tahun pertama, kementerian agama membuat devisi khusus yang menangani
pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama
(madrasah dan pesantren).Sejak pemerintahan Presiden Soekarno, indikasi ke arah
integralisasi dari dualitas pendidikan sudah ketara. Proses itu makin mengental
di zaman orde baru.
Terminologi “modernisasi madrasah“ tampaknya mulai menguat saat orde baru
melancarkan manuver-manuver politik pendidikannya. Baik melalui jalan
formalisasi –yaitu usaha penegerian madrasah, maupun jalan strukturisasi –yaitu
penjenjangan madrasah dengan mengacu pada aturan Departemen Pendidikan.Keduanya
memang kontroversial.Umat Islam melihatnya dengan kacamata prasangka, lalu
tetap memperjuangkan madrasah dan pendidikan keagamaan menjadi bagian dari
Departemen Agama.
Namun demikian, hingga reformasi politik meletus tahun 1998, dan terjadi
transisi pemerintahan dengan berganti-gantinya Kepala Negara, dunia pendidikan
bukan tidak terkena dampaknya. Spektrum reformasi politik memang memancar
ke mana-mana, termasuk ke wilayah pendidikan keagamaan.Madrasah mulai
memikirkan posisinya dalam masyarakat dan menyadari hak-haknya.
Oleh karena itu, madrasah sebagai pendidikan formal mempunyai tanggung
jawab yang berat. Di satu sisi, bagaimana lulusan madrasah memiliki civic
competence –yakni memiliki rasa kebangsaan (nasionalisme) yang kuat, juga
memiliki cultural competence yang bisa menerima keanekaragaman (plurality)
termasuk di dalamnya multiculturalism; di pihak lain harus mampu memenuhi
kebutuhan industri yaitu diperlukannya tenaga kerja yang handal.
Dalam
hal pengembangan madrasah, Nahdlatul Ulama pernah melewati jalan panjang dalam
pencarian bentuk, pendirian dan pengembangannya.Madrasah tertua yang telah ada
saat itu adalah ‘Madrasah Tashwirul Afkar’ dan ‘Madrasah Nahdlatul Wathon’ yang
didirkan KH.A. Wahab Hasbullah dan KH.Mas Mansyur.Pada tahun 1931 pimpinan
madrasah ini kemudian dipegang oleh KH.Alwi.Perkembangan Nahdlatul Wathan
sangat pesat setelah masuknya seorang pemuda cerdas Abdullah Ubaid yang ikut
bergabung dan mengajar di madrasah ini.
Saat itu, pendidikan di madrasah sudah memakai sistem klasikal dan sudah
mengajarkan mata pelajaran umum meskipun terhitung langka.Karena kelangkaannya,
hampir-hampir dikatakan tidak ada.Yang menggunakan sistem seperti itu hanyalah
sekolah pemerintah kolonial Belanda seperti HIS, sekolah kelas I, sekolah kelas
II dan lain-lainnya.NU pada waktu itu belum memiliki sekolah-sekolah model ini.
Perhatian NU atau LP Ma’arif baru terpusat pada penyelenggaraan dan pembinaan
madrasah dan pondok pesantren yang hanya “mengutamakan pendidikan dan pelajaran
agama.
Barulah
pada Muktamar NU II yang diselenggarakan di Surabaya pada 21 Oktober 1927 M. Bertepatan
12 Rabiul Tsani 1346 H, madrasah-madrasah mendapat perhatian besar.Pada
muktamar kedua ini dibicarakan perihal madrasah sampai kepada biaya pembangunan
dan dari mana biaya itu harus diperoleh dengan pengecualian menolak subsidi
dari pemerintah kolonial.Biaya sepenuhnya ditanggung oleh jama’ah Ahlussunnah
wal Jama’ah dan iuran yang ditarik dari para santri.Hal yang menjadi perhatian
dalam muktamar kali itu, juga berkaitan dengan anggaran pendidikan dan metode
pendidikan di kalangan NU atau Ma’arif.Dampak setelah muktamar kedua ini,
perkembangan madrasah semakin pesat dan jumlahnya terus meningkat.
Animo
dan perhatian besar pada pondok pesantren terus berlanjut pada muktamar NU
ketiga yang dilaksanakan di Surabaya tanggal 28 September 1928.Pada akhir acara
mukamar diadakan kunjungan ke berbagai pondok pesantren seperti ke Tambak
Beras, Denanyar, Ngajuk dan lain-lain.Oleh karana perkembangan podok pesantren
dan madrasah terus mengalami kemajuan, maka hal itu memerlukan pengelolaan yang
intensif dan terorganisir.Oleh karena itu pada muktamar keempat di Semarang
tanggal 29 September 1929, dibentuklah secara formal adanya HBNO (Hoofd Bestuur
Nahdlatul Oelama) Bagian Perguruan Ma’arif.
Dengan
menjadi bagian khusus dan berwenang sendiri Ma’arif menjadi sangat leluasa
bergerak khususnya dalam memajukan pendidikan bagi NU. Pada akhir tahun1938
Komisi Perguruan NU ini telah mengeluarkan reglement tentang susunan
madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H. Susunan
madrasah-madrasah NU dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Madrasah Awaliah 2 tahun
2.
Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun
3.
Madrasah Mu’allimin Wustha 2 tahun
4.
Madrasah Mu’allimin Ulya 3 tahun
Dalam bidang perundang-undangan yang menyangkut kepentingan pendidikan,
Ma’arif selalu mengikuti perkembangan yang seksama.Seperti yang diajukan pada
muktamar keempat belas di Magelang tanggal 1 Juli 1939, suatu sikap yang tegas
tentang tuntutan agar “pemerintahan Balanda mencabut Guru Ordonantie”.“Sebab
guru ordonantie ini sangat merugikan perkembangan pendidikan Agama Islam”.
Hingga
tanggal 8 Maret 1949 pemerintahan Balanda menyerah tanpa sarat kepada Jepang di
Kali Jati.Sejak saat itu Jepang mulai berkuasa di
Indonesia.Perkumpulan-perkumpulan dan organisasi-organisasi membekukan diri.NU
dan Ma’arif juga praktis tidak melakukan kegiata-kegiatan berarti sebab
batasan-batasan dalam peraturan yang diberlakukan oleh Jepang.
Pada
masa pemerintahan kolonial Jepang, usaha-usaha pendidikan swasta boleh dibilang
berhenti.Yang ada dan berjalan adalah sekolah-sekolah militer Jepang yang
diarahkan kepada Nippon Seizis (semangat Jepang) melalui guru-guru yang telah
dilatih demi kepentingan pemerintah. Pemerintah Jepang sangat tegas melarang
penggunaan bahasa Belanda tetapi mengharuskan pemakaian bahasa Indonesia di
sekolah-sekolah.
Tanggal
8 Desember 1941 Perang Pasifik mulai berkobar.Setahun sebelumnya, tanggal 9
Desember 1940 NU sempat melaksanakan muktamarnya yang kelima belas di
Surabaya.Pada periode 1941-1945 Ma’arif yang dipegang oleh KH.Sa’diyah tetap
membina pondok pesantren dan madrasah yang sempat beberapa waktu berhenti.Hal
itu dimungkinkan sebab pemerintah Jepang tidak terlalu banyak memperhatikan
kegiatan pondok pesantren dan madrasah.Keadaan ini sedikit memberi keleluasaan
bagi Ma’arif. Madrasah-madrasah pada waktu itu terbagi atas dua bagain:
- Madrasah Umum
a) Madrasah Awaliyah dengan lama belajar 2
tahun
b) Madrasah Ibtidaiyah dengan lama belajar 3
tahun
c) Madrasah Tsanawiyah, lama belajar 3 tahun
dengan murid dari lulusan madrasah Ibtidaiyah.
d) Madrasah Mu’allimin Al-Ulya dengan lama belajar
3 tahun yang menampung Madrasah Mu’allimin Al-Wustha.
Pada waktu itu sekolah umum dalam arti seperti SMP, SMA, SGB dan sejenisnya
belum dimiliki Ma’arif.
2. Madrasah Ikhtisosiyah
a) Madrasah Qudhat (Sekolah Hakim)
b) Madrasah Tijarah (Sekolah Ekonomi)
c) Madrasah Shina’ah (Sekolah Pertukangan)
d) Madrasah Zira’ah (Sekolah Pertanian)
Dari
sudut historis pendidikan madrasah di lingkungan Nahdlatul Ulama ini tampak
bahwa peran NU dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah tidaklah
kecil.Bahkan langkah kategorisasi dan penjenjangan madrasah merupakan inspirasi
bagi pembakuan penjenjangan pendidikan madrasah akhir-akhir ini sebagimana
diadopsi oleh sistem pendidikan nasional.
E. Arah dan Identitas Pendidikan NU
Pasca
Muktamar NU XX, sebagaimana telah dijelaskan di atas, PBNU Bagian Ma’arif (atau
Bagian Pendidikan) sudah berganti nama menjadi Lembaga Pendidikan Ma’arif NU.
Melalui lembaga ini, NU merekomendasikan kebijakan pendidikannya dan memberikan
tugas serta tanggung jawab untuk mengatur lembaga-lembaga pNU seluruh
Indonesia.
Hingga
tahun 2003, kantor pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif NU telah mendata sebagian
sekolah dan madrasah yang berada dalam koordinasinya. Dari 11 wilayah propinsi
yang telah diverifikasi, kelembagaan pendidikan NU untuk tingkat dasar dan
tingkat menengah telah mencapai jumlah 12.000.000 lembaga. Selain itu, terdapat
pula sebanyak 78 perguruan tinggi, ribuan pesantren yang pengorganisasiiannya
dipegang oleh Rabithah Ma’had Islamiyah (RMI), dan sebanyak 6.000 TK/RA
yang dikelola oleh PP Muslimat NU. Jumlah yang sangat besar tersebut, tentua
saja meminta perhatian yang besar pula.
Dalam
mengelola Pendidikan, ada beberapa prinsip yang menjadi arah, oriantasi dan
identitas kependidikan NU, yaitu:
- Memiliki komitmen terhadap paham keagamaan Ahlussunnah wal
Jama’ah.
a. Bertekat kuat untuk menciptakan institusi Pendidikan secara
mandiri, baik dari segi orientasi, swakarsa maupun bentuk pengelolaanya;
b. Mampu mengembagnkan lembaga pendidikannya dengan melibatkan
seluruh potensi masyarakat.
c. Menjadikan
mabadi’ khaira ummah (mabâdî’ khayra ummah) sebagai landasan manajemen
Pendidikan yang merefleksikan nilai-nilai al-shidq (kebenaran dan keadilan),
al-amânah (kepercayaan), al-‘adâlah (keadilan), al-ta’âwun (gotong-royong) dan
al-istiqâmah (konsistensi terhadap kebenaran).
d. Mau bekerja keras menjunjung tinggi nilai amal kerja dan
prestasi sebagai bagian dari ibadah.
- Kebijakan
Pendidikan NU berpijak pada pemikiran bahwa Pendidikan merupakan upaya
pengembangan individu manusia untuk menjadi manusia yang aktual dalam
pengertian memiliki sensitivitas sosial yang tinggi dan mampu
mengembangkan fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan menciptakan
alat-alat produksi (intelektual mekanik).
- Memelihara perpaduan antara semangat pergerakan (spirit being a
movement) dan keharuasan mengatur diri. Dua hal ini membawa pendidikan NU
pada ciri-ciri kependidikan (educational properties) yang semestinya,
yaitu adanya keterikatan pada akar sejarah dan tradisi yang dalam; adanya
kemampuan menumbuhkan rasa keterlibatan pada sistem pendidikan itu sendiri
sebagai bentuk pengabbdian (khidmah) kepada masyarakat bangsa.
Bagi Ma’arif, pendidikan adalah upaya yang
dilakukan secara sadar, terencana serta berkesinambungan guna mengembangkan
seluruh potensi kecerdasan anak didik (intelektual, emosional, praktikal,
sosial, moral dan spiritual) agar mampu mengemban amanat sebagai khalifah di
bumi; pengawal dan pemelihara persatuan dan kesatuan bangsa; penerus,
pengembang dan pelaksana ajaran dan nilai-nilai Islam Ahlussunah wal Jama’ah.
Ma’arif
menyelenggarakan pendidikan formal dari tingkat SD/MI sampai dengan Perguruan
Tinggi dan pendidikan non formal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan
ciri-ciri sebagai berikut :
a.
Populis, yakni sekolah umum dan madrasah serta kursus yang selalu dicintai
masyarakat, khususnya masyarakat nahdliyyin, karena sekolah atau madrasah atau
kursus di lingkungan Ma’arif tambah dari masyarakat dan dikembangkan oleh
masyarakat.
b.
Islami, yaitu sekolah umum dan madrasah Ma’arif yang berciri khas agama Islam
sesuai dengan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah, baik materi ajar maupun perilaku
semua orang yang terlibat di bidang pendidikan (kepala sekolah, guru, karyawan,
siswa) di lingkungan sekolah maupun di luar.
c.
Berkualitas, yaitu sekolah (madrasah yang mampu menumbuhkan semangat dalam diri
anak didik untuk berprestasi m7aksimal,
sehingga lulusnya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup, sehinga
mampu menjawab setiap tantangan dan persoalan yang berkembang.
Dalam
kiprahnya di bidang pendidikan, Ma’arif telah memberikan saham yang cukup
signifikan dalam mencerdaskan bangsa. Namun demikian, kita menyadari bahwa
sebagai bagian dari konteks pendidikan nasional, Ma’arif juga tak lepas dari
baik-buruknya sistem pendidikan nasional. Di samping banyak sekolah Ma’arif
yang melakukan inovasi dan improvisasi sesuai dengan kebutuhan dan tantangan
nyata masyarakat --baik ekonomis, sosial maupun kultural--, tidak sedikit
pula sekolah/madrasah Ma’arif yang memprihatinkan karena proses pembelajarannya
belum memungkinkan terjadinya proses sosialisasi dan pembudayaan kemampuan,
nilai, sikap dan perilaku yang dituntut oleh masyarakat, sehingga masyarakat
kurang mendukung keberadaan lembaga pendidikan tersebut.
Terkait
dengan itu, Ketua PP LP Ma’arif NU Masa Khidmat 1999-2004, Drs. HM. Nadjid
Muchtar, MA. mengatakan bahwa dalam banyak hal praktek pendidikan itu lebih
pada pemberian pengetahuan yang pada umumnya kurang fungsional dan tidak
relevan bagi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, Ma’arif menginginkan agar
proses pembelajaran dapat dikembangkan dalam iklim yang demokratis, menyadari
dan mengakui eksistensi pluralitas dan multi-budaya serta meniadakan dikotomi
antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Lalu, anak didik berada pada
posisi sentral, dan menjadi subyek pencari pengetahuan dan pembentuk
dirinya. Adapun guru berfungsi sebagai fasilitator dan pendidik yang memiliki
otoritas profesional dan bertanggung jawab atas perkembangan kepribadian anak.
Agenda Prioritas Ma’arif
Berikut
ini merupakan ringkasan program Pimpian Pusat Lembaga Pendidikan NU pada tahun
2003:
- Melakukan Pendataan Pendidikan
Program pendataan telah
berlangsung hampir tiga tahun, mulai tahun 2000 sampai akhir tahun 2003.Ada
kendala teknis pendataan itu sendiri dan kendala komunikasi/hubungan
pusat-wilayah yang menyebabkan hasilnya tertunda-tunda.Secara nasional, hingga
kini baru 11 wilayah yang tergarap, dan ini pun dalam tahap finishing
pengerjaannya.Sebagian besar wilayah lainnya masih dalam data mentah. Data yang lengkap diharapkan dapat membantu
lembaga pendidikan Ma’arif untuk memperoleh dana dengan cara
mensosialisasikanya. Dalam hal ini, Ma’arif melakukan asistensi dan fasilitasi
terhadap langkah-langkah fund-rising –yang tidak terbatas pada “konsumen”
madrasah (para orang tua siswa), tetapi terbuka ke luar dari itu seperti kepada
para pengusaha, lembaga donor/funding asing dan pemerintah negara-negara
sahabat.
- Penguatan Bahasa Inggris dan Menjalin Kerjasama dengan Universitas di
Luar Negeri
Penguatan bahasa asing
untuk pertama kalinya memilih bahasa.Untuk gelombang I, program telah berakhir
2003, selama 6 bulan.Rancangan pelaksanaan program telah selesai, dan kini
sedang mensosialisasi program ini ke wilayah seluruh Indonesia.Bertujuan untuk
menunjang program pengiriman mahasiswa ke luar negeri.Direncanakan biaya
ditanggung oleh Ma’arif/PBNU dan biaya konsumsi ditanggung oleh peserta. Pelaksanaan seleksi dan pembelajaran akan
disentralkan di Unisma, Malang.
- Penulisan Buku/Bahan Ajar Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dan
Ke-NU-an dan Revisi Kurikulum Ma’arif Tahun 1983
Materi pembelajaran Aswaja dan Ke-NU-an telah ditulis oleh beberapa
wilayah, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Lampung,
berdasarkan kurikulum tahun 1983. Sudah saatnya substansi materi mengalami
pembaruan, dan diharapkan ada buku/bahan ajar berstandar nasional. Kini sudah
disusun tim kerja dan rancangan kerjanya yang akan bekerja mulai bulan Mei.
Selain Aswaja dan Ke-NU-an, juga saatnya dilaksanakan revisi kurikulum (semua
mata pelajaran) untuk sekolah/marasah di lingkungan Nahdlatul Ulama.
- Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Peningkatan Mutu
Pendidikan
Salah satu pedoman organisasi yang dihasilkan oleh Rakernas di Malang tahun
2002 adalah pedoman MBS dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Pedoman ini belum
diimplementasikan sama sekali, antara lain karena kendala pembiayaan yang
besar, yakni menyangkut pembiayaan untuk pelatihan MBS dan pembiayaan untuk
membantu kelengkapan sarana-prasana sekolah/Madrasah Ma’arif. Ribuan sekolah
Ma’arif –seperti yang sering disampaikan oleh wilayah-wilayah—mengaku
kekurangan pembiayaan operasional pendidikanya, baik untuk peningkatan mutu
manajemen, mutu tenaga pendidikan maupun untuk memenuhi standar
sarana-prasarana pendidikan.
- Konsolidasi Organisasi melalui Silaturrahim, Jurnal Cetak dan Website
Pola relasi
keoganisasian di lingkungan Ma’arif –dan NU pada umumnya—dirasakan belum
efektif.Hanya kekuatan kultural yang “mengefektifkan” hubungan nahdliyyin
dengan organisasinya.Untuk itu, sistem organisasi yang ada (dan
perangkat-perangkat yang sebetulnya sudah cukup baik) perlu diberdayakan.Atau
perlu “dibina”.Tahun ini, Ma’arif telah melaksanakan program kunjungan kerja
untuk konsolidasi pengurus wilayah dan seluruh lembaga penyelenggara
pendidikan.Selain itu, konsolidasi organisasi juga telah ditempuh melalui
penerbitan media cetak dan digital. Ma’arif kini mempunyai jurnal 6 bulanan dan website yang akan difungsikan
sebagai “portal” informasi pendidikan di lingkungan NU.
- Pembenahan Manajemen Pendidikan
Fokus pembenahan manajenemn Pendidikan Ma’arif yang bisa dilakukan
setidak-tidaknya pada dua kegiatan penting. Pertama, penataan manajemen kantor
Ma’arif –artinya kantor pengurus Ma’arif yang idealnya menjadi sentra manajemen
pendidikan sekolah/madrasah dan perguruan tinggi NU, berikut dengan
segala hal teknis-operasional yang terkait; Kedua, perbaikan mutu manajamen
Pendidikan di tingkat sekolah/madrasah atau perguruan tinggi yang kini tengah
dalam penyesuaian dengan perubahan-perubahan kebijakan baik di pusat maupun
daerah. Dalam dua tugas ini, Ma’arif akan berfungsi sebagai pendamping atau tim
asistensi pengembanan pendidikan NU. Bentuk-bentuk kegiatan yang bisa
laksanakan, misalnya: sosialisasi buku-buku terbitan internal yang terkait
dengan pengembangan Pendidikan NU, monitoring dan pembinaan mutu manajemen
sekolah/madrasah, pendataan kelembagaan, dan kegiatan lain sejenisnya.
- Olimpiade Mutu Guru dan Siswa
Selain
meningkatkan mutu guru dan siswa yang dilakukan secara regular melalui proses
pembelajaran di kelas, pendidikan keahlian dan pelatihan-pelatihan, Ma’arif
melakukan juga olimpiade yang bersifat kompetitif antarguru dan siswa secara
nasional untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses pendidikan yang
berlangsung selama ini. Olimpiade (akan) dilaksanakan secara bertahap, mulai
tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi hingga pusat. Penyelenggaranya adalah
masing-masing pengurus struktural Ma’arif di setiap tingkatannya. Mereka yang
mendapatkan peringkat terbaik akan memperoleh penghargaan dari PP LP Ma’arif NU
dan PBNU, baik yang bersifat hadiah maupun penghargaan non-material.
- Penataan Aset Pendidikan NU
Sebagai organisasi pendidikan yang telah bergerak lebih dari 40 tahun,
Lembaga Pendidikan Ma’arif NU memiliki banyak aset dalam berbagai bentuk,
terutama tanah dan bangunan.Seiring dengan penataan organisasi pada setiap
tingkatan, sekarang aset organisasi tersebut sedang didata dengan baik. Langkah
ini merupakan pengejawantahan dari sikap amanah organisasi terhadap wakaf yang
telah diterima, dan sebagai upaya untuk mengoptimalisasi pemanfaatan aset
tersebut sebesar-besarnya bagi kepentingan umat Islam (nahdliyyîn). Melalui
pendataan aset diharapkan tidak terjadi “penguapan” aset organisasi sebagaimana
telah banyak terjadi di lingkungan organisasi kita.Bila perlu, kasus-kasus
penguapan yang telah terjadi ditangani lagi sehingga aset yang telah hilang dapat
kembali ke pangkuan organisasi.
- Aktif dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan
Lembaga Pendidikan
Ma’arif NU di berbagai tingkatan telah dihimbau oleh PBNU melalui PP LP Ma’arif
NU untuk bersikap proaktif terhadap proses penyusunan bentuk-bentuk peraturan yang
berada di pusat (UU atau PP, dan turunannya) maupun di daerah (Perda dan
sejenisnya) khususnya yang menyangkut bidang Pendidikan. Tahun silam Ma’arif merasa bersyukur telah turut
serta dalam proses panjang lahirnya UU No. 20 tentang Sisdiknas Tahun 2003 yang
merupakan momentum pelaksanaan reformasi Pendidikan, dan akhir-akhir ini
Ma’arif (juga PBNU, RMI, Muslimat, dan lain-lain) ikut memberikan kontribusi
terhadap proses penyusunan RPP bidang Pendidikan. Secara internal, Ma’arif
Pusat melakukan penyusunan, pengadaan dan pengiriman perangkat peraturan
organisasi dan pola manajemen pendidikan Ma’arif untuk pengurus struktur di
daerah dan madrasah/sekolah, serta lembaga penyelenggara Pendidikan.
- Pengembangan Perguruan Tinggi
Sebuah asosiasi
perguruan tinggi bernama ‘APTINU’ (Asosiasi Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama)
–sebagai perangkat organisasi Ma’arif di bidang perguruan tinggi- telah mulai
diberdayakan. Pusatnya di Unisma Malang, Jawa Timur, dengan anggota dari berbagai wilayah
yang terbagi dalam 6 koordinator wilayah. Diharapkan perguruan tingi dapat
membantu dalam hal penyediaan tenaga terdidik bagi sekolah/madrasah Ma’arif,
juga bagi pemberdayaan NU secara umum. Telah menjadi pemikiran bahwa perguruan
tinggi NU akan dapat membina sekolah/madrasah di lingkungan Ma’arif, sehinga
usaha masif penciptaan sumber daya manusia yang baik dan berkualitas dapat
segera terwujud.
F. Pendidikan Terpadu NU: Kurikulum Campuran
Tepatnya
setelah pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden KH. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) ke Megawati Soekarnoputeri tahun 2001, Wakil Presiden Dr. Hamzah Haz
berkunjung ke kantor PBNU dan kantor PP Muhammadiyah. Dalam pertemuannya dengan
Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, pers nasional memberitakan terjadinya
tawar-menawar posisi kabinet.“Muhammadiyah sudah agak teruji dalam masalah
pendidikan.Mungkin pendidikan akan diberikan kepada kita,” ujar Syafii
Ma’arif.Lalu, Rektor UM Malang Prof. Dr. Malik Fadjar dilantik sebagai
Mendiknas RI menggantikan Dr. Yahya Muhaimin yang juga kader Muhammadiyah.
Namun
demikian, pada musim tawar-menawar posisi kabinet “gotong-royong” Mega-Hamzah
tersebut, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi justru tidak berbicara eksplisit. Ia
menyerahkan kepada kekuasaan untuk memilih kader NU yang akan diposisikan di
pemerintahan. “NU tidak merekomendasi apa pun terhadap kekuasaan,” kata Hasyim
Muzadi.Namun demikian, pemerintah mempercayakan posisi Menag RI kepada Katib
‘Aam Syuriah PBNU Prof. Dr. Said Aqil Husein Al-Munawwar MA menggantikan KH
Tholhah Hasan yang juga kader NU.
Dalam
konteks politik pendidikan, posisi menteri cukup signifikan dalam hal merancang
disain besar pendidikan nasional melalui berbagai kebijakan dan
peraturan-peraturan –termasuk dalam proses membuat Undang-Undang. Karena itu,
komposisi di atas menggambarkan adanya asumsi publik yang mengatakan bahwa
Muhammadiyah lebih pas untuk mengurusi pendidikan umum dan NU lebih dipercaya
untuk membangun pendidikan agama dan keagamaan. Agaknya, asumsi tersebut
mendekati realitas kependidikan di Indonesia.
Jika
ditelusuri agak jauh ke belakang, tampaknya paradigma “dikotomi pendidikan”
diakibatkan oleh terlembaganya format struktural birokrasi pendidikan ini
sehingga akhirnya berpengaruh pula pada terpeliharanya persepsi dan tradisi
pendidikan yang dikotomis agama-umum di Indonesia. Rupanya fakta ini pula yang
berkontribusi besar pada terciptanya setting pendidikan NU hingga sekarang yang
berkonsentrasi pada pendidikan pesantren, diniyah, majelis ta’lim, madrasah dan
perguruan tinggi agama, seolah-olah mempertegas jati diri NU sebagai jam’iyyah
diniyah. Padahal dalam tinjauan historis, NU telah mengkritik keras faham
dualisme ilmu tersebut.
Dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, ruh anti-dikotomik
sebetulnya telah makin terasa. Kategori madrasah dan sekolah sudah sama, yakni
pendidikan formal tingkat dasar dan menengah. Perlakuan yang diberikan kepada
sekolah dan madrasah tidak diskriminatif.Penggolongan negeri dan swasta tidak
lagi memiliki pengaruh yang signifikan dalam kinerja anggaran. Melalui
justifikasi UU Sisdiknas, pemerintah akan memberikan layanan pendidikan kepada
masyarakat secara luas, adil dan bermutu.
Ada
perjalanan pembaruan pendidikan nasional yang tidak boleh kita lupakan, yaitu
upaya-upaya yang dilakukan oleh KH. A. Wahid Hasyim --peletak batu pertama
usaha pengembangan pendidikan modern di lingkungan NU. Pendidikan modern dalam
konteks ini adalah mulai diterapkannya ide pembelajaran integral agama-umum
yang terstruktur secara resmi pada kurikulum madrasah. Usahanya tersebut
merupakan benang merah dari kondisi baru keagamaan abad ke-20 yang muncul di
Negara-negara Timur Tengah setelah lahirnya para pembaharu Islam --seperti ‘Abd
Allah ibn ‘Abd al-Wahhab, Jamal al-Din al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Muhammad
‘Abduh yang bangkit akibat persentuhannya dengan Barat.
Sepulang
dari Mekah al Mukarromah, pada tahun 1934, KH.A. Wahid Hasyim menggagas
kurikulum madrasah dengan komposisi 70% agama dan 30% umum. Ketika itu, gagasan
ini bertentangan secara diametral dengan kultur akademik pesantren yang
didominasi ‘ulûm dîniyyah alias 100 % agama. Demikian juga, kurikulum tersebut
menuntut terjadinya perubahan mendasar pada sarana-prasarana, metodologi
pengajarannya dan rombongan belajarnya yang bercorak klasikal.Itulah yang
kemudian menjadi format awal madrasah-madrasah di nusantara dengan sebutan
“Madrasah Nidzomiyah”.
Madrasah
Nidzomiyah didirikan di Pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur dengan
pertimbangan bahwa kurikulum pesantren yang hanya fokus pada ‘ulûm diniyyah
(ilmu-ilmu agama) mengakibatkan santri tidak bisa berkompetisi dengan sekolah
yang bercorak Barat. Menurut KH. A. Wahid Hasyim, pesantren memiliki kelemahan
dalam hal penguasaan pengetahuan umum, bahasa asing (Inggris dan Belanda),
serta skill berorganisasi.
Di
tengah-tengah kontroversi perubahan kurikulum ini, KH.A. Wahid Hasyim
tetap melanjutkan idealismenya dengan mengatakan bahwa pendidikan Indonesia
yang dikotomik merupakan warisan penjajah Belanda dan sangat berbahaya bagi
umat Islam.Pendidikan yang dikotomik, kata KH. A. Wahid Hasyim, hanya akan
melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang tak bermoral dan ulama-ulama yang tak mengenal
zamannya. Untuk itulah, secara gigih ia menyarankan agar setiap lembaga
pendidikan mempunyai strategic planning yang mencakup tiga hal: (1)
menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya, (2) menggambarkan cara mencapai
tujuan itu, serta (3) memberikan keyakinan dan cara, bahwa tujuan yang disusun
tersebut dapat tercapai dengan sempurna.
Pada
tahun 1940, KH.A. Wahid Hasyim dipilih sebagai Anggota PBNU bagian
Ma’arif.Kesempatan ini dipakainya dengan mencoba melakukan pembaharuan
pendidikan madrasah NU di seluruh Indonesia. Pada tahun 1962, saat PBNU bagian
Ma’arif mengadakan Musyawarah Tingkat Wilayah di Bandung, Jawa Barat akhirnya
ide kurikulum campuran diresmikan penggunaanya dengan komposisi 70 % agama dan
30 % umum. Dalam perkembangannya, komposisi kurikulum tersebut menjadi
inspirasi bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah,
yakni dengan keluarnya SKB 3 Menteri –yaitu: Menteri Agama No. 6/1975, Menteri
P dan K No. 037/U/1975, dan Mendagri No. 36/1975 tentang kurikulum nasional
madrasah.
Dalam mengembangkan
kurikulum nasional merujuk pada prinsip-prinsip, yaitu: (a) berorientasi pada
tujuan, (b) relevansi dengan kebutuhan, (c) efisiensi dan efektivitas dalam
pelaksanaan, (d) fleksibilitas, (e) berkesinambungan, (f) keterpaduan, dan (g) bermutu.
Namun, kelima prinsip
pengembangan kurikulum tersebut harus disusun berdasarkan kemampuan dasar
minimal (competency based curriculum) yang harus dikuasai seorang
peserta didik setelah yang bersangkutan menyelesaikan satu unit pelajaran, satu
satuan waktu dan satu satuan pendidikan.
Dengan demikian, seorang peserta didik belum dapat melanjutkan palajaran ke
unit atau satuan pendidikan selanjutnya sebelum yang bersangkutan menguasai
unit pelajaran yang dipersyaratkan.Kurikulum berdasarkan kompetensi ini
diharapkan dapat menjamin tercapainya standar kualitas lulusan lembaga
pendidikan tertentu, yang selama ini menjadi masalah nasional di bidang
pendidikan. (Indra Djati Sidi, 2001)
Oleh
karena kurikulum madrasah bersifat nasional, maka ia sangat responsif dan
antisipatif terhadap berbagai perubahan dan perkembangan, karenanya kurikum
madrasah selalu bersifat dinamik dan terbuka terhadap kritik, revisi dan
inovasi. Namun pada prinsipnya kurikulum madrasah berorentasi kepada standar
global/regional, berwawasan nasional, dan dilaksanakan secara lokal.Kurikulum
yang dipakai oleh Ma’arif adalah kurikulum nasional yang dikeluarkan oleh
pemerintah dengan tambahan mata pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan
sekolah/madrasah, khsusnya mata pelajaran studi ke-NU-an dan Ahlussunnah wal
Jama’ah (Aswaja).
Untuk
sekolah umum, Lembaga Pendidikan Ma’arif NU menggunakan kurikulum yang
diberlakukan secara nasional yang bersumber dari Depdiknas, yaitu Kurikulum
Berbasis Kompetensi yang mulai diaplikasikan pada tahun 2004 ini.Maksud sekolah
umum adalah SD, SLTP, SMU, SMK dan lembaga Pendidikan umum yang sejenis.
Dalam kesempatan
pembukaan Raker Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama tahun 2002 di
Malang, Menteri Agama RI Prof. Dr. H. said Aqil Husein al-Munawwar, MA
mengatakan bahwa Dalam kehidupan masyarakat kita seolah-olah sedang
terjadi paradoks. Karena di satu sisi terlihat syiar dan gebyar kehidupan
beragama, tetapi pada sisi lain, kita menyaksikan akhlak masyarakat berubah
makin jauh dari nilai-nilai Qur’ani. Rendahnya kualitas akhlak serta lemahnya
iman dan takwa bangsa Indonesia merupakan faktor utama tumbuh suburnya
parktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme serta berkembanganya
kecenderungan sadistik, kriminalistik dan tindakan maksiat lainnya.
Terhadap kondisi yang
demikian kita semua perlu melakukan introspeksi dan evaluasi terhadap apa
yang kita lakukan sekarang dalam pembinaan akhlak mulia. Karena berbagai krisis yang membelit bangsa
kita, berpangkal pada krisis akhlak bangsa.
Pembinaan akhlak bukanlah hal yang ringan di tengah-tengah perkembangan
masyarakat yang semakin dinamis ini.Perubahan sosial dan cepatnya arus
informasi produk ilmu pengetahuan dan teknologi dan berkembangnya masyarakat
industrti modern, tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai Qurani.Bahkan tidak
jarang mempunyai dampak negatif terhafap kualitas akhlak manusia.Kemudian tumbuh
pula gejala psikologis yang mengkhawatirkan, seperti alienasi, dislokasi
kejiwaan kehilangan pegangan dan tujuan serta makna hidup.Dengan demikian,
pembinaan akhlak mulia merupakan keharusan mutlak dan tuntutan yang tidak bisa
ditawar.
NU memiliki
komitmen yang kuat dalam memelihara kemurnian ajaran Islam Ahlussunnah wal
Jama’ah dengan berbagai pendekatan, antara lain melalui jalur pendidikan.
Besarnya ikatan moral hampir 40 juta warga NU terhadap visi dan misi perjuangan
organisasinya adalah fakta dari keberhasilan jalur pendidikan.
Mulai
dari pembenahan madrasah dan sekolah inilah kiranya pendidikan yang
diselenggarakan Ma’arif dapat diharapkan fungsi dan peranannya dalam upaya
penyiapan SDM Indonesia yang berkualitas, memiliki kompetensi, memiliki
relevansi mutu (bagi pembangunan dan wilayah global), serta berdaya saing
(kompetitif). Lebih dari itu, out put pendidikan Ma’arif yang bermutu tentu
saja akan berpengaruh secara luas pada terciptanya good governance, civil
society dan unit-unit keluarga yang kuat, sehingga NU, bangsa dan negara kita
menjadi lebih baik lagi. Untuk itulah, NU turut berpartisipasi dalam beberapa
program pemerintah bidang pendidikan.
1. Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun melalui Madrasah
Berdasarkan data
Depdiknas, hingga tahun 2003 ini terdapat anak usia pendidikan dasar yang belum
dapat tertampung baik di sekolah maupun di madrasah sebanyak 8,7 juta (terdiri
dari 1,5 juta SD/MI dan 7,2 juta SLTP/MTs.) Berkenaan dengan itu, program penuntasan Wajar
Dikdas 9 tahun perlu terus dilaksanakan agar mereka segera terserap dalam
pendidikan.
Berkenaan dengan
itu, NU dengan pemerintah melakukan kerja sama untuk mencoba meningkatkan
kapasitas madrasah dengan menambah ruang kelas baru, rehabilitasi fisik dan
peningkatan sarana-prasarana pendidikan. Langkah lainnya adalah menekan tingkat putus
belajar di madrasah melalui program bantuan-bantuan yang sifatnya khusus untuk
murid dan guru.Upaya selanjutnya adalah melalui MTs Terbuka yang pada umumnya
dilaksanakan di pesantren.Program ini pertama kali di buka pada tahun ajaran
1996-1997 dengan 5 lokasi yang masing-masing lokasi mendidik 100 siswa. Kini
MTs Terbuka telah memiliki 61 lokasi dengan siswa lebih kurang 26.400
yang tersebar hampir diseluruh pelosok tanah air. Mayoritas pelaksana MTs
Terbuka ini adalah pesantren-pesantren yang ada di bawah naungan Nahdlatul
Ulama.
Penuntasan wajar dikdas juga dilakukan melalui Pondok Pesantren Salafiyah
yang jumlahnya mencapai 8.505 buah (sumber: EMIS Dep. Agama tahun 2001/2002).
Berdasarakan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan Nasional
dengan Menteri Agama nomor: 1/U/KB/2000 dan nomor: MA/86/2000 tentang
Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar, yang
telah ditindak lanjuti dengan SKB antara Dirjen Dikdasmen dan Dirjen Binbaga
Islam nomor: E/83/2000 dan nomor: 166/c/Kep/DS/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar,
diharapkan peran serta Pondok Pesantren akan semakin meningkat dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa. Saat ini Pesantren Salafiyah yang telah
menyelenggarakan program Wajar Dikdas kurang lebih 632 buah, dengan jumlah
santri sekitar 67.500 orang.
Program ini bertujuan
untuk meningkatkan peran serta Pondok Pesantren Salafiyah dalam penyelenggaraan
program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun bagi santri sehingga para santri
dapat memiliki kemampuan setara dan kesempatan yang sama untuk melanjutkan
belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sasaran program
ini adalah para santri di Pondok Pesantren Salafiyah yang berusia
7–15 tahun, yang mengikuti pendidikan Diniyah Ula/Awaliyah (tingkat dasar) dan
Diniyah Wustho (tingkat lanjutan pertama) dan tidak sedang
menempuh pendidikan di SD/MI dan SLTP/MTs, atau bukan pula tamatannya. Santri yang berusia lebih dari 15 tahun yang
belum memiliki ijazah SD/MI atau SLTP/MTs juga dapat mengikuti program
ini.
2. Desentralisasi Pendidikan
Dilaksanakannya desentralisasi di bidang pendidikan akan berpengaruh
positif pada manajemen pendidikan yang selama ini dikenal amat sentralistik dan
birokratik untuk diarahkan kepada upaya melibatkan dan memperhatikan keinginan
dan harapan masyarakat. Desentralisasi pada dasarnya tidak hanya terbatas pada
daerah, namun akan lebih masuk ke dalam desentralisasi sekolah/madrasah.
Lembaga pendidikan harus diberdayakan untuk dapat berkembang secara
individual dan spesifik dengan megandalkan pada school based management.
Pengelolaan yang didasarkan pada sekolah dan masyarakat sekelilingnya itu akan
memungkinkan sekolah berkembang dengan segala kekuatan yang dimilikinya.
Di Indonesia, terdapat kelembagaan madrasah yang jumlahnya cukup
signifikan. Jumlah Madrasah Aliyah (MA) sebanyak 3.772 (berstatus Negeri 577
dan Swasta 3.195) atau 84,7 % swasta. Jumlah Madrasah Tsanawiyah (MTs.)
sebanyak 10.792 (berstatus Negeri 1.168 dan Swasta 9.624) atau 89, 2 % swasta.
Jumlah Madrasah Ibtidaiyyah 22.799 (berstatus Negeri 1.482 dan Swasta 21.317)
atau 93,5 % swasta. Upaya desentralisasi madrasah sebetulnya lebih difokuskan
untuk madrasah-madrasah negeri tersebut, sementara madrasah swasta sejak awal
memang sudah berada di tengah-tengah masyarakat, beroperasi secara mandiri dan
otonom.Artinya, pada umumnya madrasah telah meluncur di rel otonomi pendidikan.
Akhir-akhir ini, masyarakat madrasah banyak yang menyampaikan keluhannya
–terutama dalam menghadapi ekses otonomi daerah.Berbeda dengan eksistensi
sekolah, di beberapa daerah madrasah memang belum diterima secara bulat sebagai
aset daerah.Implikasinya, kebijakan daerah tidak menyentuh madrasah, misalnya
dalam hal penyediaan anggaran pendidikan. Pimpinan Pusat LP Ma’arif NU telah
melayangkan surat kepada Departemen Agama untuk memberikan masukan kepada
pemerintah bahwa desentralisasi madrasah sudah mendesak diterapkan.
3. Aplikasi MBS
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, tidak bisa terlepas dari upaya
perbaikan manajemennya. Sebagai salah satu komponen penting dalam proses
pendidikan, manajemen sekolah/madrasah menjadi hal yang sangat mendesak untuk
diperbaiki. Masih belum profesionalnya, manajemen sekolah/madrasah dipengaruhi
oleh banyak faktor, baik kondisi sosial budaya, internal sekolah, kemampuan
SDM, anak didik sendiri atau peran masyarakat dan lain-lain.Setelah
diberlakukannya desentralisai pengelolaan pendidikan, diharapkan
sekolah/madrasah diberi keluasaan dalam mengembangkan diri.
School-Based Management (SBM), yaitu manajemen berbasis sekolah merupakan
konsep alternatif bagi sekolah/madrasah dalam program desentralisasi pendidikan
yang ditandai adanya otonomi luas di tingkat sekolah/madrasah, partisipasi
masyarakat yang tinggi dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
sekolah/madrasah sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan secara umum.
Lahirnya
konsep SBM telah memberikan harapan posistif bagi masyarakat sebagai konsumen
pendidikan dan guru-guru untuk mengelola pendidikan secara mandiri. SBM
menuntut semua guru untuk terlibat dalam seluruh proses pendidikan, baik yang
berhubungan dengan program pendidikan, menetapkan visi dan misi, menentukan
kesejahteraan sendiri dan menentukan anggaran pendapatan dan biaya
sekolah/madrasah, bahkan memilih siapa-siapa yang duduk sebagai pengurus
sekolah/madrasah.
Konsep SBM juga mengarahkan sekolah/madrasah agar mempunyai
kemandirian dalam penyusunan program, menetapkan program dan melaksanakan
program yang diputuskan oleh seluruh komponen sekolah/madrasah, yaitu kepala
sekolah/madrasah, guru-guru, karyawan dan masyarakat umum (khususnya orang tua
anak didik). Kepala sekolah/madrasah harus bertindak demokratis dan aspiratif
dalam menentukan segala kebijakan, guru harus pro-aktif, disiplin, kreatif,
inovatif dan produktif, karyawan harus bertindak profesional sesuai dengan
kapasitas yang dimiliki, serta masyarakat harus merasa memiliki (khususnya
orang tua) dan ikut bertanggung jawab terhadap eksistensi dan perjalanan
program-program sekolah/madrasah. Kerja sama antar warga sekolah/madrasah
(guru, manajemen, anak didik dan orang tua) harus dibangun dan dikembangkan
untuk menemukan sinergi kualitas proses pendidikan.
BAB III
PENUTUP
Hingga sekarang, penyelenggaraan pendidikan NU belum mampu menjawab
berbagai kebutuhan dan tantangan.Program peningkatan kualitas dan pemerataan
pendidikan masih menjadi masalah paling menonjol dalam dunia pendidikan kita.
Keduanya masih merupakan pekerjaan rumah yang membutuhkan keseriusan semua
pihak, khususnya political will pemerintah dalam merelokasi anggaran pendidikan
secara mendasar.
Pasa
sisi lain, tantangan dan perkembangan lingkungan strategis, baik nasional,
regional mapun internasional dalam berbagai bidang semakin berat. Cepatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang informasi dan
tranpostasi yang mempunyai dampak sangat dahsyat dalam kehidupan, terbukanya
pintu pasar bebas yang memberikan peluang kesempatan persaingan yang sangat
ketat, derasnya arus demokratisasi, HAM, isu-isu lingkungan hidup dan lain-lain
merupakan tantangan yang harus segera kita jawab agar kita tetap hidup (survive),
bahkan kalau bisa kita berusaha memenangkan kompetisi dalam percaturan
kehidupan antar bangsa di dunia.
Tentu
saja, problematika dan tantangan tersebut di atas sangat tergantung pada visi,
misi, strategi, serta kebijakan kependidikan yang diterapkan oleh NU.
Setidak-tidaknya, ke depan kita harus sudah memulai melakukan perbaikan
penyelenggaraan pendidikan minimal pada aspek kurikulum dan perbaikan kualitas
manajemen pendidikan, perbaikan sarana prasarana, tenaga kependidikan serta
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggraan pendidikan.
Dalam konteks makro, NU-pun terus-menerus berusaha agar dapat meningkatkan
kinerjanya untuk berpartisipasi dalam upaya perluasan dan pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia menuju
terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi. NU juga berupaya untuk meningkatkan kemampuan
akademik dan professional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga
kependidikan agar mereka dapat berfungsi secara optimal dalam hal peningkatan
watak dan akhlakul karimah.
Selain itu, NU secara serius sedang melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan
lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan
nilai, sikap dan kemampuan.
Anam.
Choirul, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlotul Ulama, ( Jatayu Sala, 1985,
Cetakan Pertama).
Feillard.
Andre, NAHDLATUL ULAMA vis-a-vis Negara,(Yogyakarta: LKIS: 1999).
Kh.
Wazir Ali. Lc 2012,”Hasil keputusan Basrul Masail PCNU Jombang” Lajnah Ta’lif
wannasyr (LTN-NU) Tim Penyusun Buku Aswaja PWLP Maarif NU Jatim “Pendidikan
Aswaja Dan ke-NU-an Kurikulum 2006”. Pimpinan wilayah Lembaga Pendidikan
Ma’arif NU Jawa Timur Wijaya, E.Juhana. 1999. Sejarah Nasional dan Sejarah
Umum. Bandung : Cv Armigo.
Fadeli,
Soeleiman dan Mohammad Subhan. 2010. ANTOLOGI NU. Surabaya: Khalista.